Jumat, 04 Mei 2012

Peraturan dan Regulasi (Bagian II)


UU NO.19 YANG BERHUBUNGAN DENGAN HAK CIPTA

Undang-undang No. 19 tahun2002 tentang hak cipta yang berkaitan dengan komputerisasi adalah :


KETENTUAN UMUM

Pasal 1 , ayat 8 :

Program Komputer adalah sekumpulan instruksi yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, kode, skema, ataupun bentuk lain, yang apabila digabungkan dengan media yang dapat dibaca dengan komputer akan mampu membuat komputer bekerja untuk melakukan fungsi-fungsi khusus atau untuk mencapai hasil yang khusus, termasuk persiapan dalam merancang instruksi-instruksi tersebut.

LINGKUP HAK CIPTA

Pasal 2, ayat 2 :

Pencipta atau Pemegang Hak Cipta atas karya sinematografi dan Program Komputer memiliki hak untuk memberikan izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan Ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial.

Pasal 12, ayat 1 :

Dalam Undang-undang ini Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup:

a. buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;

Pasal 15 :

Dengan syarat bahwa sumbernya harus disebutkan atau dicantumkan, tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta:

a. Penggunaan Ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta;

b. Perbanyakan suatu Ciptaan selain Program Komputer, secara terbatas dengan cara atau alat apa pun atau proses yang serupa oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan, dan pusat dokumentasi yang nonkomersial semata-mata untuk keperluan aktivitasnya;

c. Pembuatan salinan cadangan suatu Program Komputer oleh pemilik Program Komputer yang dilakukan semata-mata untuk digunakan sendiri.

PERLIDUNGAN HAK CIPTA

Dalam kerangka perlindungan hak cipta, hukum membedakan dua macam hak, yaitu hak ekonomi dan hak moral. Hak ekonomi berhubungan dengan kepentingan ekonomi pencipta seperti hak untuk mendapatkan pembayaran royalti atas penggunaan (pengumuman dan perbanyakan) karya cipta yang dilindungi. Hak moral berkaitan dengan perlindungan kepentingan nama baik dari pencipta, misalnya untuk tetap mencantumkan namanya sebagai pencipta dan untuk tidak mengubah isi karya ciptaannya.

Ciptaan yang dilindungi hak cipta di Indonesia dapat mencakup misalnya buku, program komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, ceramah, kuliah, pidato, alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan, lagu atau musik dengan atau tanpa teks, drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, pantomim, seni rupa dalam segala bentuk (seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan), arsitektur, peta, seni batik (dan karya tradisional lainnya seperti seni songket dan seni ikat), fotografi, sinematografi, dan tidak termasuk desain industri (yang dilindungi sebagai kekayaan intelektual tersendiri). Ciptaan hasil pengalihwujudan seperti terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai (misalnya buku yang berisi kumpulan karya tulis, himpunan lagu yang direkam dalam satu media, serta komposisi berbagai karya tari pilihan), dan database dilindungi sebagai ciptaan tersendiri tanpa mengurangi hak cipta atas ciptaan asli (UU 19/2002 pasal 12).

Tidak ada Hak Cipta untuk kegiatan berikut ini :
a. hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
b. peraturan perundang-undangan;
c. pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
d. putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
e. keputusan badan arbitrase atau keputusan badan-badan sejenis lainnya.

PEMBATASAN HAK CIPTA

Dalam Undang-undang Hak Cipta yang berlaku di Indonesia, beberapa hal diatur sebagai dianggap tidak melanggar hak cipta (pasal 14–18). Pemakaian ciptaan tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta apabila sumbernya disebut atau dicantumkan dengan jelas dan hal itu dilakukan terbatas untuk kegiatan yang bersifat nonkomersial termasuk untuk kegiatan sosial, misalnya, kegiatan dalam lingkup pendidikan dan ilmu pengetahuan, kegiatan penelitian dan pengembangan, dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari penciptanya.

Pemegang Hak Cipta yang bersangkutan diwajibkan untuk memberikan izin kepada pihak lain untuk menerjemahkan dan/atau memperbanyak Ciptaan tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia dalam waktu yang ditentukan.

Untuk lembaga penyiaran yang menyisipkan suatu ciptaan, lembaga penyiaran ini harus memberikan imbalan yang layak kepada Pemegang Hak Cipta yang bersangkutan apabila mengumumkan ciptaan dari pemilik ciptaan tersebut.

PENDAFTARAN HAK CIPTA

Di Indonesia, pendaftaran ciptaan bukan merupakan suatu keharusan bagi pencipta atau pemegang hak cipta, dan timbulnya perlindungan suatu ciptaan dimulai sejak ciptaan itu ada atau terwujud dan bukan karena pendaftaran[2].

Namun demikian, surat pendaftaran ciptaan dapat dijadikan sebagai alat bukti awal di pengadilan apabila timbul sengketa di kemudian hari terhadap ciptaan[1]. Sesuai yang diatur pada bab IV Undang-undang Hak Cipta, pendaftaran hak cipta diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI), yang kini berada di bawah [Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia]].

Pencipta atau pemilik hak cipta dapat mendaftarkan langsung ciptaannya maupun melalui konsultan HKI. Permohonan pendaftaran hak cipta dikenakan biaya (UU 19/2002 pasal 37 ayat 2). Penjelasan prosedur dan formulir pendaftaran hak cipta dapat diperoleh di kantor maupun situs web Ditjen HKI. "Daftar Umum Ciptaan" yang mencatat ciptaan-ciptaan terdaftar dikelola oleh Ditjen HKI dan dapat dilihat oleh setiap orang tanpa dikenai biaya.



UU NO.36 YANG BERHUBUNGAN DENGAN TELEKOMUNIKASI

Azas & Tujuan Telekomunikasi

Pasal 2

Telekomunikasi diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, adil dan merata,kepastian hukum,keamanan,kemitraan,etika dan kepercayaan pada diri sendiri.

Pasal 3

Telekomunikasi diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung persatuan dan kesatuan bangsa,meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata,mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan,serta meningkatkan hubungan antarbangsa.

Penyelenggaraan Komunikasi

Pasal 7

(1) Penyelenggara telekomunikasi meliputi :

a. penyelenggara jaringan telekomunikasi;

b. penyelenggara jasa telekomunikasi;

c. penyelenggara telekomunikasi khusus

(2) Dalam penyelenggaraan telekomunikasi,diperhatikan hal-hal sebagai berikut :

a. melindungi kepentingan dan keamanan Negara;

b. mengantisipasi perkembangan teknologi dan tututan global;

c. dilakukan secara profesional dan dapat dipertanggungjawabkan;

d. peran serta masyarakat.


Penyidikan

Pasal 44

(1) Selain penyidik Pejabat Polisi Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dilingkungan Departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya dibidang telekomunikasi, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana dibidang telekomunikasi.

(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)berwenang:

a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi.

b. melakukan pemeriksaaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana dibidang telekomunikasi.

c. menghentikan penggunaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku.

d. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka.

e. melakukan pemeriksaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang diduga digunakan atau diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi.

f. menggeledah tempat yang digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi.

g. menyegel dan atau menyita alat dan atau perangkat telekomunikasi yang digunakan atau yang diduga berkaita dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi.

h. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi.

i. mengadakan penghentian penyidikan.

(3) Kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan Undang-undang Hukum Acara Pidana.


Sanksi Administrasi

Pasal 45

Barang siapa melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1),Pasal 18 ayat (2),pasal19,pasal 21,Pasal 25 ayat (2),Pasal 26 ayat (1),Pasal 29 ayat (1),Pasal 29 ayat (2),Pasal 33 ayat (1),Pasal 33 ayat (2),Pasal 34 ayat (1),Pasal 34 ayat (2) dikenai sanksi administrasi.


Pasal 46

(1) Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 berupa pencabutan izin.

(2) Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah diberi peringatan tertulis.


ketetentuan pidana

Pasal 47

Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1),dipidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta

rupiah).

Pasal 48

Penyelenggara jaringan telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 49

Penyelenggara telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20,dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 50

Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22,dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Pasal 51

Penyelenggara komunikasi khusus yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1 ataau Pasal 29 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).

Pasal 52

Barang siapa memperdagangkan,membuat,merakit,memasukan atau menggunakan perangkat telekomunikasi di wilayah Negara Republik Indonesia yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).


Pasal 53

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) atau Pasal 33 ayat (2) dipidana dengan penjara pidana paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).

(2) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

Pasal 54

Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) atau Pasal 36 Ayat (2),dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua raatus juta rupiah).

Pasal 55

Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38,dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Pasal 56

Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40,dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

Pasal 57

Penyelenggara jasa telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1),dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 58

Alat dan perangkat telekomunikasi yang digunakan dalam tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47,Pasal 48,Pasal 52,atau Pasal 56 dirampas oleh negara dan atau dimusnahkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 59

Perbuataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47,Pasal 48,Pasal 49,Pasal 50,Pasal 51,Pasal 52,Pasal 53,Pasal 54,Pasal 55,Pasal 56, dan Pasal 57 adalah kejahatan.

RUU tentang informasi dan transaksi elektronik (ITE) 

(peraturan bank indonesia ttg internet banking) 


Internet banking merupakan layanan perbankan yang memiliki banyak sekali manfaatnya bagi pihak bank sebagai penyedia dan nasabah sebagai penggunanya. Transaksi melalui media layanan internet banking dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja. Melalui internet banking, layanan konvensional bank yang komplek dapat ditawarkan relatif lebih sederhana, efektif, efisien dan murah. Internet banking menjadi salah satu kunci keberhasilan perkembangan dunia perbankan modern dan bahkan tidak menutup kemungkinan bahwa dengan internet banking, keuntungan (profits) dan pembagian pasar (marketshare) akan semakin besar dan luas. Internet banking, terdapat pula resiko-resiko yang melekat pada layanan internet banking, seperti resiko strategik, resiko reputasi, resiko operasional termasuk resiko keamanan dan resiko hukum, resiko kredit, resiko pasar dan resiko likuiditas. Oleh sebab itu, Bank Indonesia sebagai lembaga pengawas kegiatan perbankan di Indonesia mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia No. 9/15/PBI/2007 Tentang Penerapan Manajemen Resiko Dalam Penggunaan Teknologi Informasi Pada Bank Umum agar setiap bank yang menggunakan Teknologi Informasi khususnya internet banking dapat meminimalisir resiko-resiko yang timbul sehubungan dengan kegiatan tersebut sehingga mendapatkan manfaat yang maksimal dari internet banking.

Upaya yang dilakukan Bank Indonesia untuk meminimalisir terjadinya kejahatan internet fraud di perbankan adalah dengan dikeluarkannya serangkaian peraturan perundang-undangan, dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran Bank Indonesia (SE), yang mewajibkan perbankan untuk menerapkan manajemen risiko dalam aktivitas internet banking, menerapkan prinsip mengenal nasabah/Know Your Customer Principles (KYC), mengamankan sistem teknologi informasinya dalam rangka kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu dan menerapkan transparansi informasi mengenai Produk Bank dan penggunan Data Pribadi Nasabah.

Lebih lanjut, dalam rangka memberikan payung hukum yang lebih kuat pada transaksi yang dilakukan melalui media internet yang lebih dikenal dengan cyber law maka perlu segera dibuat Undang-Undang mengenai Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Undang-Undang mengenai Transfer Dana (UU Transfer Dana). Dengan adanya kedua undang-undang tersebut diharapkan dapat menjadi faktor penting dalam upaya mencegah dan memberantas cybercrimes termasuk mencegah kejahatan internet fraud.

Seiring dengan meningkatnya pemanfaatan Internet Banking, akan semakin banyak pihak-pihak yang mencari kelemahan sistem Internet Banking yang ada. Serangan-serangan tersebut akan semakin beragam jenisnya dan tingkat kecanggihannya. Dahulu serangan pada umumnya bersifat pasif, contoh eavesdropping dan offline password guessing, kini serangan tersebut menjadi bersifat aktif, dalam arti penyerang tidak lagi sekedar menunggu hingga user beraksi, tetapi beraksi sendiri tanpa perlu menunggu user. Beberapa jenis serangan yang dapat dikategorikan ke dalam serangan aktif adalah man in the middle.

Sumber :


http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-undang_Informasi_dan_Transaksi_Elektronik
http://gedemade.blogspot.com/2010/04/peraturan-bank-indonesia-tentang.html
http://fikri-allstar.blogspot.com/2011/11/peraturan-dan-regulasi-uu-no-36_16.html
http://id.wikisource.org/wiki/Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_19_Tahun_2002

Selasa, 01 Mei 2012

Peraturan dan Regulasi


1. Perbandingan CyberLaw 

Cyber Law adalah aspek hukum yang istilahnya berasal dari Cyberspace Law, yang ruang lingkupnya meliputi setiap aspek yang berhubungan dengan orang perorangan atau subyek hukum yang menggunakan dan memanfaatkan teknologi internet yang dimulai pada saat mulai "online" dan memasuki dunia cyber atau maya. Cyber Law juga didefinisikan sebagai kumpulan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang berbagai aktivitas manusia di cyberspace (dengan memanfaatkan teknologi informasi).

Ruang lingkup dari Cyber Law meliputi hak cipta, merek dagang, fitnah/penistaan, hacking, virus, akses Ilegal, privasi, kewajiban pidana, isu prosedural (Yurisdiksi, Investigasi, Bukti, dll), kontrak elektronik, pornografi, perampokan, perlindungankonsumen dan lain-lain.

1) Cyber Law Di Indonesia
Indonesia telah resmi mempunyai undang-undang untuk mengatur orang-orang yang   tidak bertanggung jawab dalam dunia maya. Cyber Law-nya Indonesia yaitu undang–undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Di berlakukannya undang-undang ini, membuat oknum-oknum nakal ketakutan karena denda yang diberikan apabila melanggar tidak sedikit kira-kira 1 miliar rupiah karena melanggar pasal 27 ayat 1 tentang muatan yang melanggar kesusilaan. sebenarnya UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) tidak hanya membahas situs porno atau masalah asusila. Total ada 13 Bab dan 54 Pasal yang mengupas secara mendetail bagaimana aturan hidup di dunia maya dan transaksi yang terjadi didalamnya. Sebagian orang menolak adanya undang-undang ini, tapi tidak sedikit yang mendukung undang-undang ini.

Secara garis besar UU ITE mengatur hal-hal sebagai berikut :

Tanda tangan elektronik memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan konvensional (tinta basah dan bermaterai). Sesuai dengan e-ASEAN Framework Guidelines (pengakuan tanda tangan digital lintas batas).
Alat bukti elektronik diakui seperti alat bukti lainnya yang diatur dalam KUHP.
UU ITE berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar Indonesia yang memiliki akibat hukum di Indonesia.
Pengaturan Nama domain dan Hak Kekayaan Intelektual.
Perbuatan yang dilarang (cybercrime) dijelaskan pada Bab VII (pasal 27-37):
Pasal 27 (Asusila, Perjudian, Penghinaan, Pemerasan)
Pasal 28 (Berita Bohong dan Menyesatkan, Berita Kebencian dan Permusuhan)
Pasal 29 (Ancaman Kekerasan dan Menakut-nakuti)
Pasal 30 (Akses Komputer Pihak Lain Tanpa Izin, Cracking)
Pasal 31 (Penyadapan, Perubahan, Penghilangan Informasi)
Pasal 32 (Pemindahan, Perusakan dan Membuka Informasi Rahasia)
Pasal 33 (Virus?, Membuat Sistem Tidak Bekerja (DOS)
Pasal 35 (Menjadikan Seolah Dokumen Otentik (phising?)

2) Cyber Law Di Malaysia

Lima cyberlaws telah berlaku pada tahun 1997 tercatat di kronologis ketertiban. Digital Signature Act 1997 merupakan Cyberlaw pertama yang disahkan oleh parlemen Malaysia. Tujuan Cyberlaw ini, adalah untuk memungkinkan perusahaan dan konsumen untuk menggunakan tanda tangan elektronik (bukan tanda tangan tulisan tangan) dalam hukum dan transaksi bisnis. Computer Crimes Act 1997 menyediakan penegakan hukum dengan kerangka hukum yang mencakup akses yang tidak sah dan penggunaan komputer dan informasi dan menyatakan berbagai hukuman untuk pelanggaran yang berbeda komitmen. Para Cyberlaw berikutnya yang akan berlaku adalah Telemedicine Act 1997. Cyberlaw ini praktisi medis untuk memberdayakan memberikan pelayanan medis / konsultasi dari lokasi jauh melalui menggunakan fasilitas komunikasi elektronik seperti konferensi video. Berikut pada adalah Undang-Undang Komunikasi dan Multimedia 1998 yang mengatur konvergensi komunikasi dan industri multimedia dan untuk mendukung kebijakan nasional ditetapkan untuk tujuan komunikasi dan multimedia industri. The Malaysia Komunikasi dan Undang-Undang Komisi Multimedia 1998 kemudian disahkan oleh parlemen untuk membentuk Malaysia Komisi Komunikasi dan Multimedia yang merupakan peraturan dan badan pengawas untuk mengawasi pembangunan dan hal-hal terkait dengan komunikasi dan industri multimedia.

Departemen Energi, Komunikasi dan Multimedia sedang dalam proses penyusunan baru undang-undang tentang Perlindungan Data Pribadi untuk mengatur pengumpulan, kepemilikan, pengolahan dan penggunaan data pribadi oleh organisasi apapun untuk memberikan perlindungan untuk data pribadi seseorang dan dengan demikian melindungi hak-hak privasinya. Ini to-be-undang yang berlaku didasarkan pada sembilan prinsip-prinsip perlindungan data yaitu :
Cara pengumpulan data pribadi
Tujuan pengumpulan data pribadi
Penggunaan data pribadi
Pengungkapan data pribadi
Akurasi dari data pribadi
Jangka waktu penyimpanan data pribadi
Akses ke dan koreksi data pribadi
Keamanan data pribadi
Informasi yang tersedia secara umum.


Cyber Law di Malaysia, antara lain:
Digital Signature Act
Computer Crimes Act
Communications and Multimedia Act
Telemedicine Act
Copyright Amendment Act
Personal Data Protection Legislation (Proposed)
Internal security Act (ISA)
Films censorship Act

3) Cyber Law Di Singapura

Beberapa cyberlaw di Singapura adalah The Electronic Act (UU Elektrinik) 1998 danElectronic Communication Privacy Act (UU Privasi Komunikasi Elektronik) 1996. The Electronic Transactions Act telah ada sejak 10 Juli 1998 untuk menciptakan kerangka yang sah tentang undang-undang untuk transaksi perdagangan elektronik di Singapore yang memungkinkan bagi Menteri Komunikasi Informasi dan Kesenian untuk membuat peraturan mengenai perijinan dan peraturan otoritas sertifikasi di Singapura. UU ini dibuat dengan tujuan:
Memudahkan komunikasi elektronik atas pertolongan arsip elektronik yang dapat dipercaya.
Memudahkan perdagangan elektronik, yaitu menghapuskan penghalang perdagangan elektronik yang tidak sah atas penulisan dan persyaratan tandatangan, dan untuk mempromosikan pengembangan dari undang-undang dan infrastruktur bisnis diperlukan untuk menerapkan menjamin / mengamankan perdagangan elektronik.
Memudahkan penyimpanan secara elektronik tentang dokumen pemerintah dan perusahaan.
Meminimalkan timbulnya arsip alektronik yang sama (double), perubahan yang tidak disengaja dan disengaja tentang arsip, dan penipuan dalam perdagangan elektronik, dll.
Membantu menuju keseragaman aturan, peraturan dan mengenai pengesahan dan integritas dari arsip elektronik.
Mempromosikan kepercayaan, integritas dan keandalan dari arsip elektronik dan perdagangan elektronik, dan untuk membantu perkembangan dan pengembangan dari perdagangan elektronik melalui penggunaan tandatangan yang elektronik untuk menjamin keaslian dan integritas surat menyurat yang menggunakan media elektronik.
Cyber Law di Singapura, antara lain:
Electronic Transaction Act
IPR Act
Computer Misuse Act
Broadcasting Authority Act
Public Entertainment Act
Banking Act
Internet Code of Practice
Evidence Act (Amendment)
Unfair Contract Terms Act

4) Cyber Law Di Amerika

Di Amerika, Cyber Law yang mengatur transaksi elektronik dikenal dengan Uniform Electronic Transaction Act (UETA). UETA diadopsi oleh National Conference of Commissioners on Uniform State Laws (NCCUSL) pada tahun 1999.
Secara lengkap Cyber Law di Amerika adalah sebagai berikut :
– Electronic Signatures in Global and National Commerce Act
– Uniform Electronic Transaction Act
– Uniform Computer Information Transaction Act
– Government Paperwork Elimination Act
– Electronic Communication Privacy Act
– Privacy Protection Act
– Fair Credit Reporting Act
– Right to Financial Privacy Act
– Computer Fraud and Abuse Act
– Anti-cyber squatting consumer protection Act
– Child online protection Act
– Children's online privacy protection Act
– Economic espionage Act
– "No Electronic Theft" Act

2. Computer Crime Act (Malaysia)

Computer Crime Act (Akta Kejahatan Komputer) merupakan Cyber Law (Undang-Undang) yang digunakan untuk memberikan dan mengatur bentuk pelanggaran-pelanggaran yang berkaitan dengan penyalahgunaan komputer. 

Computer Crime Act (Akta Kejahatan Komputer) yang dikeluarkan oleh Malaysia adalah peraturan Undang-Undang (UU) TI yang sudah dimiliki dan dikeluarkan negara Jiran Malaysia sejak tahun 1997 bersamaan dengan dikeluarkannya Digital Signature Act 1997 (Akta Tandatangan Digital), serta Communication and Multimedia Act 1998 (Akta Komunikasi dan Multimedia).

Di negara Malaysia, sesuai akta kesepakatan tentang kejahatan komputer yang dibuat tahun 1997, proses komunikasi yang termasuk kategori Cyber Crime adalah komunikasi secara langsung ataupun tidak langsung dengan menggunakan suatu kode atau password atau sejenisnya untuk mengakses komputer yang memungkinkan penyalahgunaan komputer pada proses komunikasi terjadi.

3. Council of Europe Convention on Cyber crime (Eropa)

Council of Europe Convention on Cyber Crime (Dewan Eropa Konvensi Cyber Crime), yang berlaku mulai pada bulan Juli 2004, adalah dewan yang membuat perjanjian internasional untuk mengatasi kejahatan komputer dan kejahatan internet yang dapat menyelaraskan hukum nasional, meningkatkan teknik investigasi dan meningkatkan kerjasama internasional. Council of Europe Convention on Cyber Crime berisi Undang-Undang Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU-PTI) pada intinya memuat perumusan tindak pidana.

Council of Europe Convention on Cyber Crime ini juga terbuka untuk penandatanganan oleh negara-negara non-Eropa dan menyediakan kerangka kerja bagi kerjasama internasional dalam bidang ini. Konvensi ini merupakan perjanjian internasional pertama pada kejahatan yang dilakukan lewat internet dan jaringan komputer lainnya, terutama yang berhubungan dengan pelanggaran hak cipta, yang berhubungan dengan penipuan komputer, pornografi anak dan pelanggaran keamanan jaringan. Hal ini juga berisi serangkaian kekuatan dan prosedur seperti pencarian jaringan komputer dan intersepsi sah.

Tujuan utama adanya konvensi ini adalah untuk membuat kebijakan kriminal umum yang ditujukan untuk perlindungan masyarakat terhadap Cyber Crime melalui harmonisasi legalisasi nasional, peningkatan kemampuan penegakan hukum dan peradilan, dan peningkatan kerjasama internasional.

Selain itu konvensi ini bertujuan terutama untuk:
1) harmonisasi unsur-unsur hukum domestik pidana substantif dari pelanggaran dan ketentuan yang terhubung di bidang kejahatan cyber.
2) menyediakan form untuk kekuatan hukum domestik acara pidana yang diperlukan untuk investigasi dan penuntutan tindak pidana tersebut, serta pelanggaran lainnya yang dilakukan dengan menggunakan sistem komputer atau bukti dalam kaitannya dengan bentuk elektronik
3) mendirikan cepat dan efektif rezim kerjasama internasional.


Referensi :
http://diemust23.blogspot.com/2012/03/perbedaan-cyber-law-di-negara-negara.html
http://maxdy1412.wordpress.com/2010/05/01/perbandingan-cyber-law-indonesia-computer-crime-act-malaysia-council-of-europe-convention-on-cyber-crime-eropa/
http://utiemarlin.blogspot.com/2010/04/cyber-law-computer-crime-act-malaysia.html